Dalam sebuah serial drama Korea -lupa judulnya- ada satu dialog tentang perselingkuhan yang menarik. Kalimat nya kurang lebih begini, " Buat kamu, ini mungkin cinta, romansa. Tapi untuk suami dan anak-anakmu, ini tak lebih dari sebuah pengkhianatan!"
Selingkuh dalam Wikipedia Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai istilah yang digunakan terkait perbuatan atau aktivitas yang tidak jujur dan menyeleweng terhadap pasangannya, baik pacar atau suami isteri. Istilah ini umumnya digunakan sebagai sesuatu yang melanggarkesepakatan ataskesetiaan hubungan seseorang. Motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil dalam situasi kompetitif.
Di sini tegas disebutkan selingkuh sama dengan menyeleweng terhadap pasangan. Titik. Meskipun ada anak kalimat menyertai, namun semua bersifat melengkapi. Bukan memberi alternatif makna lain yang berbeda.
Sayangnya banyak Mom masa kini, yang memandang selingkuh bukan lagi sebagai pengkhianatan atas komitmen setia. Bertemu cinta lain saat tak lagi sendiri, justru dianggap mampu menyuguhkan warna baru dalam kehidupan pernikahan.
Kim Brooks, menulis artikel dimuat dalam The Cut, Why So Many Women Cheat on Their Husbands, September 2017. Di dalamnya mengupas buku terbaru Esther Perel , State Of Affairs : Rethinking Infidelity , yang menguak banyak fakta tentang wanita berselingkuh.
Tulisan diawali dengan data bahwa sejak tahun 1990 hingga 2017, catatan psikoanalis dan penulis, jumlah wanita menikah yang mengakui telah melanggar janji setia, meningkat sebesar 40 persen. Sementara pada kelompok laki-laki, yang memang dianggap telah akrab dengan peluang "mendua", menunjukkan grafik landai, tidak ada peningkatan.
Ah itu kan di negara barat? Tak guna lah membahas nya di sini . Ulah mereka, urusan mereka, buat apa diributin?
Eits, tunggu dulu Bunda, cobalah tengok... , dahan dan ranting, pohon dan kebun... eh, kok jadi berbelok ke tema hujan yang bikin basah sih...
Jadi gini, di luar urusan prosentase 40 per seratus itu, ada beberapa fakta yang mendukung nya. Dan...., menurut saya beberapa gejala nya mirip atau bahkan persis dengan apa yang ada di sekitar kita.
Seperti...
1. Wanita pelaku selingkuh masa kini, bukan lah istri yang layak disebut korban. Bukan korban KDRT, bukan korban pelitnya suami, bukan pula korban kedukaan lainnya. Menurut Perel, mereka tampak sebagai istri dan ibu yang sempurna. Suami sukses, ekonomi mapan, anak-anak membanggakan pokonya gambaran rumah tangga harmonis. Kurang apa cobak, dalam gelimang harta , gaya hidup serba modern tak kurang suatu apa pun, toh para wanita tetap saja selingkuh?
2. Seringkali, mereka tetap mencintai suami, namun merasa bahwa kebutuhan dasar mereka (seksual, emosional, psikologis) tidak terpenuhi dalam pernikahan.
3. Wanita-wanita itu tulis Perel, berselingkuh bukan untuk menghancurkan pernikahan, atau lari menjauh dari keluarga. Tapi justru untuk tetap berada di dalamnya. Aneh kan? Ingin tetap menjadi ibu dan istri bercitra positif, tetapi melakukan hal-hal negatif. Tidak ingin merobohkan lembaga perkawinan, tetapi pada saat yang sama, menghancurkan pilar-pilarnya : kesetiaan dan martabat seorang istri. Sebuah ironi, tetapi faktanya, mereka mampu melakoninya.
4. Semakin banyak wanita tidak mau meninggalkan pernikahan dan keluarga yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Ingin keluarga tetap utuh , meskipun mereka selingkuh.
Caranya? Salah satunya dengan berlaku lebih manis, lebih sabar, lebih telaten, pokok nya meningkatkan pelayanan kepada suami, setelah mereka melakukan "petualangan" cinta di luar nikah. Mungkin semacam usaha menebus dosa. Oh....., ada udang di balik rempeyek.
5. Yang paling mengejutkan, menurut Perel banyak dari mereka sangat santai, acuh tak acuh ketika mengisahkan penyelewengan. Jelas ada pengkhiantan disini, tapi mereka tidak terlalu menyembunyikan, bahkan bisa menceritakan dengan bangga kepada orang lain tanpa rasa malu. Mungkin setara dengan pernyataan, selingkuh di masa kini bukanlah aib. Boleh jadi malah menjadi prestasi. Oh No.....!
6. Dulu, jika ada perempuan terlibat perselingkuhan, umumnya dia berada dalam posisi pasif. Artinya, laki-laki lah yang aktif bergerak. Mengejar , merayu dan mengatur teknis agenda cinta terlarang yang dilakoni. Kini, menurut Perel, para wanita juga sanggup mengambil peran sebagai pengendali perselingkuhan.
Di negara kita, sepertinya belum ada lembaga yang melakukan survei untuk masalah ini. Belum ada angka yang dipublikasikan. Tetapi entahlah, sekali lagi saya merasa poin - poin atau gejala itu, ada di sekeliling kita. Mirip dengan kisah selingkuh yang terdengar melalui bisik-bisik tetangga, yang kebetulan terlihat dengan mata kepala sendiri atau saat dicurhati pelaku selingkuh.
Ada pendapat bahwa rasa cinta itu universal. Ciri-ciri orang yang mabok asmara atau patah hati karena cinta juga mirip -- mirip di seluruh jagat raya ini, maka mungkinkah itu artinya polah tingkah pelaku selingkuh juga tak jauh beda di belahan dunia mana pun?
Tentu tidak berharap Moms Zaman Now di negara ini mempunyai perilaku yang melanggar norma agama, hukum postif dan bertindak asusila. Karena sampai kapan pun, seorang ibu tetaplah figur yang memiliki peran pokok dalam mencetak generasi berkualitas.
Tidak ada jaminan bahwa anak suskes pasti terlahir dari ibu yang baik akhlaq nya. Tetapi semakin banyak ibu yang berhati dan berperilaku mulia, tentu harapan lahirnya generasi bangsa yang jempolan, juga semakin besar. Se-mo-ga.
LA
Komentar
Posting Komentar