Langsung ke konten utama

Politik Elektorial dan Primodialisme

Politik Elektorial Dan Primodialisme



Demokrasi dalam lingkup kebang­sa­an berorientasi men­ciptakan kesejah­te­ra­­an, serta menegakkan dau­lat rakyat de­ngan basis reaktualisasi su­premasi hu­kum. Demokrasi, seba­gai­mana dikata­kan oleh Lincoln, adalah dari, oleh, dan un­­tuk rakyat. Pernyataan ini mempunyai mak­na yang cukup men­­da­lam bila kita kaji secara holistik. Pe­me­rintahan dari, oleh, dan untuk rakyat ada­lah pengakuan be­sar atas kedaulatan rak­yat, yang ke­mu­dian kedaulatan itu di­tip­kan pada pe­m­e­­rintah­an sebagai man­da­taris rakyat.

Pemerintahan yang dimaksud, juga di­pilih dengan cara-cara yang demo­kra­tis, menerapkan prinsip pemilu, yang di­dalamnya memuat hak politis masya­ra­kat dalam menetap­kan calon mana yang hendak ia pilih. Dalam konteks ini, tentu tidak menjadi masalah bila kita memilih dengan akal-nurani yang baik. Tapi, apa jadi, bila pemilihan itu didasar­kan isu-isu yang memundurkan kualitas de­mokrasi, seperti isu primordialisme? Hal itulah yang sedang terjadi pada pe­m­ilihan kepala daerah di Jakarta be­be­rapa waktu lalu.

Kita sama-sama tahu, dua elit berta­rung dalam pemilihan DKI Jakarta pada tang­­gal 19 Februari 2017 lalu. Basuki Tja­­haya Purnama-Djarot dan Anies-San­diaga Uno. Yang satu peta­ha­na, yang lain adalah penantang baru. Kalau bisa saya katakan, pilkada DKI ini adalah pertaru­ngan yang sangat panas. Isu-isu yang di­main­kan beraroma primordial (agama), dan ini bertendensi menurunkan popula­ri­tas dan elektabilitas pasangan Ahok-Djarot.

Mengapa? Salah satu calon, yakni Ahok merupakan agama Kristen, dan ini tentu menjadi isu yang dipakai oleh tim la­wan un­tuk mencoba mengalahkan Ahok dalam pilkada DKI tahun ini. Di tam­bah, Ahok beberapa waktu lalu telah di­ang­gap me­nis­takan agama Islam de­ngan ujarannya di pulau Seribu terkait de­ngan surat Almaidah. Maka, makin ru­nyam­lah ke­ada­an negara ini. Hal itu di­tandai dengan gerakan sosial umat mus­lim, dalam apa yang disebut dengan Aksi Bela Islam jilid I II menjadi penanda kemarahan umat Islam akibat ulah Ahok.

Sontak saja kemudian mereka men­co­ba mendesak penga­dil­an mengusut tun­tas kasus ini. Mereka kemudian menda­tang­­­kan massa dari seluruh penjuru ta­nah air untuk meng­aman­kan sidang Ahok. Kasus ini kemudian memenga­ruhi ting­­­kat elektabilitas Ahok. Tingkat elek­tabilitas Ahok pun sem­pat menurun di kisaran 25,8 persen. Sedikit di bawah Anies-Sandiaga yang memiliki elekta­bi­litas 26,2 persen (Lem­baga Konsulitan Po­litik Indonesia, 2017).

Patut kita sadari, isu-isu primordial kerap hadir di ranah po­litik elektoral di daerah-daerah di Indonesia. Negara Indonesia yang heterogen, memungkin­kan isu ini menjadi alas me­reka men­ja­tuh­kan pihak lawan. Clifford Geerz da­lam buku­nya The Interpretation of Cul­ture (1973), memberikan uraian se­der­hana berkaitan dengan primordial ini. Menurut­nya, jalinan primordial ini ada­lah kelompok etnis (bukan hanya suku), hubungan kekerabatan, hubu­ngan keagamaan serta ke­biasaan-ke­bia­saan yang menjadi pengikat kehi­du­pan sosial mereka.

Akibat kedekatan inilah kemudian, isu primordialisme da­pat memantik ge­ra­kan-gerakan, entah itu gerakan sosial sam­pai politik. Anthony Smith dalam bu­kunya National Identity (1991) kemu­dian menjelaskan bagaimana suatu isu primordial (etnis, agama, dan suku, dan an­targolongan) memain­kan peranan­nya dalam menciptakan konflik. Smith berpen­dapat bahwa primordialisme semacam instrumen pemicu konflik. Hal ini terjadi karena isu primordialisme dipicu sen­timen etnis dan macamnya. Walhasil terjadi mobilisasi massa yang menghendaki suatu perubahan.
Dalam pandangan yang lebih jauh, isu pri­mordialisme ini bisa menciptakan isu etnosentrisme, yang berpandangan bah­wa hanya suku, bangsa, agama, ras dan kedaerahan kami yang benar, yang lain salah. Akibat kecenderungan inilah kemudian suatu suku, agama dan lainnya mengkoreksi yang menurut mereka salah, maka disitulah kemudian timbul per­pecahan, ti­dak hanya pada aras na­sio­nal, di tingkat lokal pun terjadi.

Hasrat Berkuasa

Wacana primordialisme ini tujuan akhir­nya adalah kekua­saan. Kekuasaan adalah barang langka. Akibat kelangkaan itulah, elit politk rela melakukan apa saja asal ia duduk di sing­gasana kekuasaan. Se­bagaimana dikatakan oleh Harold D Las­well, bahwa politic is who gets what, how and when. Ar­ti­nya, permainan stra­tegi tidak lagi dipandang sulit, mainkan saja isu primordial.

Kalau kita lihat pilkada DKI dari tahun sebelumnya, te­patnya tahun 2007, Fauzi Bowo keluar sebagai pemenang pada perhelatan pilkada itu. Alasan klasiknya, bahwa Fauzi Bowo adalah putra daerah, dan itu menjadi harga mati. Bahkan kemudian ia memenangi periode berikutnya, juga dengan meng­­gunakan isu primordialisme.

Tidak hanya di Jakarta sebenarnya, di daerah-daerah di Indo­nesia pun masih banyak yang menggunakan isu-isu primordial ini. Seperti misalnya di Aceh, Sulawesi Selatan, Papua dan lain macamnya. Artinya, kita memang masih belum siap menuju pendewasaan politik demokrasi. Kita masih terikat dengan simbol-simbol, dan kita memang masih terikat dengan emosionalitas ketimbang rasionalitas.

Masyarakat Indonesia, sekelas Ja­karta sekalipun masih bisa dihasut oleh isu primordialisme, mereka tidak bisa mem­be­da­kan mana politik dan mana wa­cana primordial, bagi mereka, kalau ti­dak suka, maka mereka selamanya akan benci. Apalagi kemudian ketidak­su­kaan itu dipanas-panasi oleh elit lokal yang hendak bermain, maka jadilah clash diantara calon dan masyarakat yang kemudian terbelah.

Inilah yang kemudian disebut oleh seorang ilmuwan politik, yakni Dr. War­jio sebagai politik belah bambu (devide et ­im­pe­ra). Artinya, kita, masya­ra­kat Indonesia masih bisa diadu dom­ba dengan isu-isu yang bertendensi me­me­cah belah bang­sa. Lucunya, sesama kita yang dia­du domba. Sesama kita yang berlin­dung pada falsafah kebang­sa­­an, yang kita sebut sebagai Indonesia. Lu­­cunya lagi, kita sebenarnya tidak mau ikut cam­pur didalamnya, namun karena kencang­nya mobilisasi dan pemberitaan media, kita kemudian hanyut didalam­nya. Se­olah-olah, kita dituntut untuk mem­bela ini dan itu, dan seba­gai­nya, dan sebagai­nya.

Secara tidak langsung kita harus me­nyadari bahwa ini akan menimbulkan traumatik yang tidak sebentar. Setiap menjelang pilkada, isu ini yang terus di­ba­ngun. Pada akhirnya, harmo­ni­sasi di ma­syarakat cenderung melambat perbai­k­an­nya. Walhasil, terjadi kekurangan du­kungan masyarakat, karena ada yang pro dan kontra. Jangka panjang ini yang sering tidak dilihat oleh elit khususnya dan masyarakat umumnya.

Politik adalah seni mendapatkan kekuasaan. Tapi, alangkah jeleknya seni itu bila dibumbui oleh isu primordial. Kita harus meniru negara Barat yang su­dah semakin cerdas dalam memi­lih pe­mim­pinnya. Lihatlah pemilu Turki yang me­menangkan Er­dogan. Mayoritas (lebih 80 persen) memilih Erdogan ka­rena dianggap mewakili kepentingan ma­­syarakat, dan program-programnya yang visioner serta membangun. Dan pemilu disa­na jauh dari isu primordial. Ini yang harus kita contoh untuk me­m­aju­kan kualitas demokrasi kita.

Lucu memang negara Indonesia. Di te­ngah global berupaya memajukan kua­litas demokrasinya, Indonesia melahir­kan tan­da kemunduran demokrasi. Di negeri ini, yang visioner akan kalah dari yang santun dan bersahaja. Di negeri ini, yang mempunyai program-program kesejahteraan akan kalah dari yang punya kekuatan komunikasi yang baik. Pada akhirnya, emosionalitas (primordial) akan unggul daripada rasionalitas (kerjanya). Beginilah realitanya. ***

Oleh: Fajar Anugrah Tumanggor.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pantai Oa dan Rako-Surga Titipan Tuhan Di Flores

Nusa Tenggara Timur (NTT) Adalah Provinsi Kepulauan dengan berjuta aset wisata dan keberagaman budayanya. Tidak heran jika NTT mempunyai berbagai keunikan Wisata Alam dan budayanya. Kabupaten Flores Timur merupakan Kabupaten dengan keunikan berbagai Destinasi Wisata, di antaranya Wisata Religius Semana Santa Kota Reinha Larantuka, Wisata Bahari, Taman Laut, Taman Kota, Kampung Adat, Kampung Kreatif, Situs-Situs bersejarah dan sebagainya. Tapi ada yang unik dengan salah satu destinasi Wisata Alam Flores Timur yang tidak kalah Indahnya dengan Wisata alam lainnya yaitu Pantai Oa dan Pantai Rako yang terletak di Pantai Selatan Desa Pantai Oa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Desa Pantai Oa memiliki 2 Pantai Pasir Putih yang sangat Indah di hiasi dengan bukit2 yang indah dan Taman Doa serta tempat peninggalan bersejarah lainnya yang melengkapi  uniknya Alam Wisata di Desa Pantai Oa. 1. Pantai Oa Pantai Oa Berada di sebelah Timur Desa Pantai Oa yang ber...

Cerita Negeri Egois

Gerak gemulai kucing lacur Diantara kerbau kerbau suburbia Celoteh camar tentang kehidupan Kura dan hiu berebut kekuasaan Singa tampan berparas manusia Menipu si ratu cinta dunia Hipnotis mafia tikus berdasi Babi bankir berjanji,onta suci orasi Menipu kambing dengan ilusi Kera kera demonstran berbaris baris Mengantri pisang pemberian rubah Cerita usang para hewan merepotkan Dari suburbia sudah terlihatRasisme antar suku bergeliat Lorong lorong kotor tak bertabiat Fasis perlahan berkembang biak Kebebasan bercengkrama hilang Birokrasi kapitalis-borjuis klasik Korup tikus dan anjing belang Cerita ketidak-adilan seperti sinetron Pembodohan masyarakat awam semakin sinkron Sarjana banyak yang bloon Penindasan minoriti bak memecahkan balon Hilang sudah hati kebersamaan Angin panas datang lagi Demokrasi munafik tanpa hati Mayoritas versus minoriti Yang kaya selalu benar Sogokan hukum jadi tenar Yang miskin tetap aka...

Pentingnya Politik Keterwakilan Di Lamaholot?

Abdul Munir Sara Kemarin ketika kami ke Kutai Kartanegara-Kaltim dalam suatu acara BM PAN; betapa kagetnya, dia punya APBD sekitar Rp.9 triliun pada tahun 2017, tapi kondisi infrastruktur mengenaskan. Secara regional, terjadi penyusutan angkatan kerja sekitar 61 ribu orang ditahun 2016 berdasarkan data BPS. Penyebabnya harga komoditas global yang menurun sejak 2016; menjadi faktor slow down harga batu bara sebagai komoditas unggulan Kaltim khususnya kabupaten Kukar. Saya sempat bicara dengan teman-teman DPRD II terkait perpolitikan disana. Betapa kagetnya. Untuk mengamankan suara saja, per orang paling rendah Rp.250.000. Bahkan wilayah perkotaan; kisarannya bisa sampe Rp.1 juta per suara. Belum agi wilayah yang susah di Jangkau, di kawasan perbatasan. Ini hampir berlaku masif atau semacam harga pasaran politik transaksional disana. Saya berharap, momok demokrasi macam ini tak terjadi di NTT. Jadi kita bayangkan, seperti apa rupa politik anggaran disana. Sudah bisa dipastikan...